DonkeyMails.com: No Minimum Payout

Senin, 13 Desember 2010

Nepotisme, Keluarga, dan Dunia Politik

Nepotisme dalam konteks apapun adalah dosa besar yang diharamkan semenjak kelahiran bayi reformasi lebih dari satu dasawarsa silam. Akan tetapi jamak terlihat bahwa praktik nepotisme kembali akrab dan lazim dilakukan dalam lingkaran kekuasaan negeri ini. Ironisnya, tidak seperti kolusi apalagi korupsi, praktik nepotisme tidak pernah ditindak secara tegas dan terus tumbuh subur di berbagai kehidupan masyarakat.

Tuduhan ini terbukti bukan isapan jempol. Tengok saja struktur kepengurusan partai politik di Indonesia. Beberapa partai politik besar, diakui atau tidak, menampakkan keterkaitan anggota keluarga dalam jabatan-jabatan penting. Memang para anggota keluarga yang terlibat itu tidak sedikit yang menunjukkan kualitas yang mumpuni. Dengan latar belakang pendidikan luar negeri namun minim pengalaman politik, para “kader titipan” ini seringkali melakukan loncatan karier melampaui para kader senior yang telah mengabdi lama kepada partai.

Jalan Panjang Praktik Nepotisme

Praktik nepotisme telah dikenal sejak berabad-abad yang lalu. Istilah nepotisme diambil dari kata latin nepos yang berarti “keponakan” atau “cucu”. Dalam catatan sejarah, praktik nepotisme tumbuh subur sejak abad pertengahan di kalangan agamawan. Beberapa uskup dan paus, menunaikan kaul selibat dan tidak mempunyai anak , seringkali menyerahkan jabatan-jabatan tertentu kepada keponakan, cucu, dan kerabatnya. Cara ini ditempuh untuk melegitimasi dinasti kepausan dalam hierarki Gereja Katolik Roma.

Beberapa Paus ternama pernah terlibat dalam praktik nepotisme ini. Dalam New Catholic Dictionary disebutkan bahwa Paus Kallistus III mengangkat dua keponakannya menjadi kardinal dan bahkan salah satu keponakannya yang bernama Rodrigo berhasil menjadi pimpinan tertinggi umat Katolik yang bernama Paus Alexander VI. Untuk mengantisipasi praktik nepotisme ini, pada 1692, dikeluarkan Romanum cecet pontificem oleh Paus Innosensius XII. Isinya antara lain melarang semua paus untuk mewariskan tanah, kantor, pendapatan kepada sanak keluarga, dengan pengecualian bahwa seorang saudara yang paling bermutu dapat dijadikan seorang Kardinal (Catholic Encyclopedia).

Selain itu, dalam sejarah Dunia praktik ini pun lazim dilakukan. Salah satu pemimpin legendaris yang terkenal melakukan praktik ini adalah Napoleon Bonaparte. Ketika ia berhasil menduduki beberapa negara Eropa secara spontan Napoleon menunjuk kerabatnya untuk menjadi pimpinan. Di Belanda, misalnya, Napoleon menunjuk adiknya Louis Napoleon untuk menjadi pemimpin di Belanda. Sementara di Mesir, Napoleon juga menunjuk adiknya Champoleon sebagai pemegang kekuasaan tertinggi di negeri padang pasir tersebut. Champoleon kemudian terkenal karena menemukan berbagai peninggalan masa Mesir Kuno, seperti Piramid.

Di Indonesia, praktik nepotisme juga tumbuh subur dalam lingkaran kekuasaan. Keluarga Cendana, misalnya, menjadi simbol praktik nepotisme masa Orde Baru. Bahkan, beberapa ahli sejarah berpendapat bahwa, salah satu faktor yang menyebabkan kejatuhan Orde Baru adalah dominasi praktik nepotisme di kalangan keluarga presiden yang menyebabkan berbagai pihak geram dan menyerang balik secara diam-diam kekuasaan rezim Orde Baru.

Bentuk lain praktik nepotisme pada masa Orde Baru adalah pengangkatan perwira-perwira militer dalam berbagai jabatan sipil. Soeharto dikenal sebagai sosok yang gemar menunjuk kolega-kolega militernya dalam berbagai jabatan militer. Dari wakil presiden sampai walikota pada saat itu rata-rata dijabat oleh kalangan militer. Hasilnya, kekuasaan Orde Baru dapat merepresi lawan-lawan politiknya mulai dari tingkat bawah sampai tingkat atas. Tidak heran, stabilitas menjadi cirri pemerintahan Orde Baru selama lebih dari tiga dasawarsa.

Mengabdi pada Kekuasaan

Dalam berbagai catatan dapat disimpulkan bahwa praktik nepotisme lazim dilakukan oleh para penguasa untuk melegitimasi dan melestarikan kekuasaannya. Para penguasa lebih percaya pada ikatan keluarga daripada kemampuan seorang politikus karier. Walaupun para kerabat tidak memiliki pengalaman di bidang politik yang cukup, loyalitas menjadi alasan utama penguasa memilih anggota keluarga untuk duduk dalam lingkaran kekuasaan.

Pada sisi lain, anggota keluarga penguasa pun memanfaatkan peluang emas untuk duduk dalam jabatan-jabatan strategis. Mereka lebih memilih jalan pintas untuk masuk dalam lingkaran kekuasaan daripada berakarier dari bawah, menimba pengalaman, dan mematangkan karakter sampai akhirnya pantas disebut politikus yang berpihak kepada rakyat.

Ya begitulah. Ketika praktik neoptisme lazim dilakukan dapat dipastikan yang diperjuangkan penguasa bukanlah kesejateraan rakyat tetapi kepentingan untuk mempertahankan kekuasaan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar